sejarah islam di andalusia, spanyol
“Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian,
musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang
kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini
kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang
hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan
mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang
kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan
musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti
ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang,
rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada
kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.”
Kalimat tersebut diucapkan setelah kapal yang digunakan
menyeberangi selat, sehingga satu-satunya pilihan bagi 7000 pasukan Islam saat
itu hanyalah menghadapi 100.000 pasukan Visigoth guna menaklukkan negeri
Andalusia, atau syahid disana. Pidato terkenal ini dikobarkan oleh seorang
panglima perang yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah penyebaran Islam:
Thariq bin Ziyad.
Thariq bin Ziyad
Nama lengkapnya adalah Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin
Walgho bin Walfajun bin Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau. Beliau
merupakan putra suku Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas,
Afrika Utara. Ia lahir sekitar tahun 50 Hijriah. Ia ahli menunggang kuda,
menggunakan senjata, dan ilmu bela diri. Beliau adalah salah seorang Panglima
Perang Islam pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik atau
al-Walid I (705-715 M) dari bani Umayah.
Pada bulan Rajab 97 H atau Juli 711 M, beliau mendapat
perintah dari Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nusair untuk mengadakan
penyerangan ke semenanjung Andalusia (Semenanjung Iberia yang sekarang meliputi
negara Spanyol dan Portugis). Bersama 7.000 pasukan yang dipimpinnya, Thariq
bin Ziyad menyeberangi selat Gibraltar (berasal dari kata “Jabal Thariq” yang
berarti “Gunung Thariq”) menuju Andalusia.
Setelah armada tempur lautnya mendarat di pantai karang,
beliau berdiri di atas bukit karang dan berpidato. Beliau memerintahkan anak
buahnya untuk membakar kapal-kapal yang membawa seluruh awak pasukannya.
Kecuali kapal-kapal kecil yang diminta pulang untuk meminta bantuan kepada
khalifah[citation needed, lihat footnote]. Beliau mengatakan, “Kita datang ke
sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukkan negeri ini
dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa
(syahid).”
Karuan saja pidato ini membakar semangat jihad pasukannya.
Mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur pasukan kerajaan Visigoth,
Spanyol, di bawah pimpinan Raja Roderick. Atas pertolongan Allah swt, 100.000
pasukan Raja Roderick tumbang di tangan pasukan muslim. Raja Roderick pun
menemui ajal di medan pertempuran ini.
Dimulainya penyebaran Islam di Eropa Barat
Dalam kitab Tarikh al-Andalus, disebutkan bahwa sebelum
meraih keberhasilan ini, Thariq telah mendapatkan firasat bahwa ia pernah
bermimpi melihat Rasulullah saw bersama keempat khulafa’ al-rasyidin berjalan
di atas air hingga menjumpainya, lalu Rasulullah saw. memberi tahukan kabar
gembira bahwa ia akan berhasil menaklukkan Andalusia. Kemudian Rasulullah saw.
menyuruhnya untuk selalu bersama kaum muslimin dan menepati janji.
Setelah meraih kemenangan ini, Thariq menulis surat ke Musa,
mempersembahkan kemenangan kaum muslimin ini. Dalam suratnya itu ia menulis:
“Saya telah menjalankan perintah anda. Allah telah
memudahkan kami memasuki negeri Andalusia.”
Setahun kemudian, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000
pasukan menyusul Thariq. Sejak saat itu, satu demi satu kota-kota di Andalusia
berhasil diduduki tentara Thariq dan Musa; Toledo, Elvira, Granada, Cordoba dan
Malaga. Lalu dilanjutkan Zaragoza, Aragon, Leon, Asturia, dan Galicia. Dan
penyebaran Islam ke Eropa pun dimulai dari Andalusia.
Pasukan Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya
bergabung untuk menaklukkan Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah
Pyrenies, Perancis. Hanya dalam waktu 2 tahun, seluruh daratan Spanyol berhasil
dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka ganti
namanya dengan Al-Gharb (Barat).
Sungguh itu keberhasilan yang luar biasa. Musa bin Nusair
dan Thariq bin Ziyad berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk
menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun
yang bisa menghadap mereka. Namun, niat itu tidak tereaslisasi karena Khalifah
Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq
pulang terlebih dahulu sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di
Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah
swt. tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan menghembuskan nafas. Thariq bin Ziyad
telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika Utara
muslim yang menaklukkan daratan Eropa.
Wilayah Al-Andalus (abad 7 hingga 10)
Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt
dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para
orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang.
Menurutnya,
“Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi
dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua
tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk
agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap
dilindungi oleh suatu pemerintahan Islam.”
Peperangan dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia
bukan untuk memusnahkan. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan
menguasai wilayah tidak bertujuan menjajahnya. Berbeda dengan ideologi
Kapitalisme yang memang tujuan mereka berperang adalah untuk menguasai wilayah
dan menjajahnya (baca: menguras seluruh potensi wilayah itu untuk kepentingan
bangsanya).
Merah muda: Ekspansi wilayah Islam di zaman Khulafaur
Rasyidin, 632-661
Oranye: Ekspansi wilayah Islam di zaman Kekhilafahan Bani
Umayyah, 661-750
Sejarah Andalusia
Al-Andalus, was the Arabic name given to those parts of the
Iberian Peninsula governed by Muslims, or Moors, at various times in the period
between 711 and 1492. (Wikipedia)
I. Periode Kekuasaan Bani Umayyah Damaskus (711-755)
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para
wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada
periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna,
gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama
akibat perbedaan etnis dan golongan. Disamping itu, terdapat perbedaan
pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat
di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai
daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali
(gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat.
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di
Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak
pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri.
Setelah berjuang lebih dari 500 tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam
dari bumi Spanyol. Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang
menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki
kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.
Perbedaan pandangan politik juga menyebabkan seringnya
terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis,
terutama, antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Konflik perang saudara
diantara berbagai kelompok Muslim di Iberia itu berakibat hilangnya kendali
kekhalifahan di wilayah itu, hingga Yusuf Al-Fihri memenangkan perseteruan itu
dan menjadi pemimpin independen di wilayah Andalusia.
II. Periode Kerajaan Cordoba (756-1013)
Di tahun 750, kekuasaan khalifah Bani Umayyah yang berpusat
di Damaskus digantikan dengan kekuasaan Bani Abbasiyah yang berpusat di
Baghdad. Abdurrahman Ad-Dakhil, keturunan Bani Umayyah yang selamat, berhasil
menurunkan Yusuf Al-Fihri dan memproklamirkan dirinya sebagai Amir kerajaan
Andalusia yang berpusat di Cordoba dan melepaskan diri dari Kekhalifahan
Abbasiyah pada tahun 756.
Amir Kerajaan Cordoba berturut-turut: Abdurrahman I
(756-788), Hisyam I (788-796), Al-Hakam I (796-822), Abdurrahman II (822-852),
Muhammad I (852-886), Al-Mundhir (886-888), Abdullah ibn Muhammad (888-912)
Kemudian semenjak kekuasaan Abdurrahman III di tahun 929,
sebutan penguasa Amir kemudian digantikan dengan titel Khalifah: Abdurrahman
III (912-961), Al-Hakam II (961-976), Hisyam I (976-1008), Muhammad II
(1008-1009), Sulaiman II (1009-1010), Hisyam II (1010-1012), Sulaiman II
(1012-1016), Abdurrahman IV (1017), Abdurrahman V (1023-1024), Muhammad III
(1024-1025), Hisyam III (1026-1031).
Awal dari kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol adalah
ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan
aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn
Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius
yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam
dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas
keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada
tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat
mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008
M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu.
Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan
akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri.
Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup
memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah
Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam
banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
III. Periode Kerajaan-Kerajaan Lokal
Kekhalifahan Cordoba runtuh dengan terjadinya perang saudara
antara 1009 hingga 1013, meskipun belum sepenuhnya berakhir hingga 1031. Negeri
Andalusia kemudian terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negera kecil di bawah
pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di
suatu kota seperti Kerajaan Malaga, Zaragoza, Valencia, Badajoz, Sevilla, dan
Toledo.
Perpecahan Negeri2 Andalusia di tahun 1031 (wilayah berwarna
putih, merah, kuning, dan biru di bagian utara termasuk kerajaan Kristen)
Para raja-raja kecil itu digelar Mulukuth Thawaif (Raja
Lokal) kemudian berseteru dan berperang satu sama lain tanpa sebab yang jelas.
Hanyalah karena ingin saling menguasai. Kisah-kisah pengkhianatan, kisah-kisah
perebutan puteri cantik dan perebutan harta mewarnai semua perseteruan itu.
Mereka tak sadar umat Kristen telah mempersiapkan kekuatan untuk merebut
kembali Spanyol. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara
pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen.
Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk
pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif
penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan
intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para
sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana
lain.
IV. Periode Kekuasaan Dinasti-dinasti dari Maroko
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam
beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan
dinasti Murabithun (086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti
Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf
ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah
kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas “undangan”
penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan
mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia
dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan
pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf
melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu.
Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah
raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik
di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun. Pada
masa dinasti Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118
M. Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali
dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun.
Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat
di Afrika Utara merebut daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn
Tumart (w. 1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd
al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota muslim penting, Cordova,
Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade,
dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul
mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan.
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan
besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun
menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke
Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah
penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu
bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Yang pertama hancur
adalah Toledo yang jatuh pada tahun 1085 di mana Raja Al Qadir Adzdzunnuniyah
menyerah kepada Raja Leon Alfonso VII. Kemudian Mustansir al-Mudiayah menyerah
kepada Ramire II dari Aragon. Kerajaan Cordova yang terbesar di Andalusia jatuh
pada tahun 1236 dan Kerajaan kedua terbesar Sevilla luluh-lantak dan takluk
pada tahun 1248.
Keruntuhan Cordova tidak saja diratapi oleh Umat Islam,
tetapi juga seorang penulis Kriten Stanley Lane Poole dalam bukunya “The
Mohammadan Dynasties” mengakui betapa mundurnya peradaban Andalusia setelah
runtuhnya kerajaan Islam Cordova. Pengakuan dunia Kristen terhadap peradaban
Islam Cordova dapat dibuktikan dengan permintaan Inggris agar pemuda pemuda
Inggris dapat menuntut ilmu di Universitas Cordova. Surat Raja Inggris itu
diterima oleh Sultan Hisyam III yang berbunyi antara lain,
“Kami telah mendengar kemajuan Ilmu dan industri di Negara
Paduka Yang Mulia. Karenanya kami bermaksud mengirim putera-puteri terbaik kami
untuk menimba ilmu di Negara Paduka Yang Mulia agar ilmu pengetahuan tersebar
ke negeri kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru. (Wajah Dunia
Islam oleh Dr Muhammad Sayid al-Wakil).
V. Periode Keraajaan Granada
Sisa-sisa umat Islam di Andalusia itu masih dapat bertahan
dan bangun kembali di Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492).
Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir.
Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil.
Universitas Granada dan Istana Al Hambra yang termasyhur itu pun dibangun walau
di tengah ancaman tentara musuh.
Istana Al-Hambra
Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di
Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan
kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena
menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak
dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan
digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan
kepada Ferdenand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini
dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta. Tentu saja,
Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui
perkawinan itu tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan
terakhir umat Islam di Spanyol. Abu Muhammad Abdullah IX tidak kuasa menahan
serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah.
Akhirnya keemasan Granda Kerajaan Islam terakhir di Andalusia setelah ratusan
tahun memencarkan sinarnya ke seluruh penjuru Eropa hilang dan sirna. Dengan
demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M.
Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk
Kristen atau pergi meninggal Spanyol. Umat Islam pun terusir dengan pedihnya
dari bumi Andalusia. Hanya yang mau meninggalkan Islam (murtad) yang boleh
tinggal. Yang tetap beriman kepada Allah bersama Raja Abu Muhammad di
persilahkan naik ke kapal dan berlayar menuju Afrika Utara menyeberangi Selat
Gibraltar. Kalau dulu Tariq menyeberanginya dengan kepala tegak penuh semangat
dan optimisme, namun Abu Muhammad berlayar dengan sedih dan menundukkan kepala
dengan penuh keaiban. Tanggal 2 Januari 1492 itu tercatat sebagai pemurtadan
besar-besaran yang pernah terjadi dalam sejarah. Baik Cordova maupun Granada
hancur lebur bersama kitab-kitabnya berikut peradabannya. Pada tahun 1609 M,
boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
Mengenai jatuhnya Granada yang merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan ini, ilmuwan sekelas Emmanuel Deutch berkomentar,
“Semua ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk
mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena
itu, sewajarnyalah jika kami selalu mencucurkan airmata manakala kami teringat
saat-saat terakhir jatuhnya Granada.” (M. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap
Islam, hlm. 100)
Perkembangan Iptek (masih ngopi utuh2 dari artikelnya
islamuda.com :-p )
Membicarakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Spanyol, tak bisa lepas dari kerja besar pembangunan peradaban yang dilakukan
para pembawa risalah Islam ke kawasan Eropa itu. Tak bisa juga dipisahkan dari
kajian etika serta syari’at Islam yang didakwahkan para da’i. Itulah yang
mendorong semangat para ilmuwan Muslim Spanyol: Pengetahuan itu satu karena
dunia juga satu, dunia satu karena Allah juga satu. Prinsip “tauhid” semacam
ini yang menjadi koridor berpikir para ilmuwan muslim dalam mengembangkan sains
dan teknologi.
Tak mengherankan jika temuan-temuan para ilmuwan muslim pada
zaman ini sangat revolusioner. Jauh sebelum Wilbur Wright dan Oliver Wright
menemukan pesawat terbang pada abad 20, usaha menemukan alat transportasi
penerbangan sudah dilakukan oleh Abu Abbas Al-Fernass. Bahkan ia sudah mencoba
terbang, meski kendaraan yang ditemukannya tak sempurna. Sayangnya, sejarah
peradaban dunia Islam yang berbasis di Andalusi, Spanyol itu, tak terekam oleh
Barat. Sementara catatan-catatan sejarah Islam, ditutup rapat untuk tak
dijadikan referensi.
Toh sejarah tak bisa berdusta. Demikian halnya dalam
pengembangan ilmu kedokteran oleh para pakar muslim. Selain Ibnu Rusyd, adalah
Az-Zahrawi yang dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan teknik
pembedahan manusia. Az-Zahrawi yang lahir dekat Cordova pada 936 Masehi,
dikenal sebagai penyusun ensiklopedi pembedahan yang karya ilmiahnya itu
dijadikan referensi dasar bedah kedokteran selama ratusan tahun. Sejumlah
universitas, termasuk yang ada di Barat, menjadikannya sebagai acuan.
Demikian halnya kontribusi ilmuwan Islam di bidang
astronomi. Adalah Az-Zarqalli, astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama
kali memperkenalkan astrolabe. Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk
mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi
revolusioner karena sangat membantu navigasi laut. Dengan demikian, transportasi
pelayaran berkembang pesat selepas penemuan astrolabe. Sementara pakar
geografi, Al-Idrisi, yang lahir di Ceuta pada 1099 Masehi, setelah menuntut
ilmu di Cordova juga menemukan dan memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode
proyeksi. Suatu metode yang sama dengan yang dikembangkan Mercator, empat abad
kemudian.
Eropa Berhutang Budi Temuan sains dan teknologi, serta
kajian filsafat Muslim Spanyol, mengalir ke seluruh kawasan ibarat mengairi
kekeringan kehidupan intelektual Eropa. Para pelajar dari Eropa Barat memenuhi
perpustakaan-perpustakaan serta kampus-kampus perguruan tinggi yang dibangun
oleh ilmuwan muslim di sana. Pola pendidikan yang dikembangkan para ilmuwan
muslim di sana, sungguh memikat para pelajar dari Eropa. Dalam kitabnya yang berjudul
Muqaddimah, ulama Muslim terkemuka Ibnu Khaldun menilai metode pendidikan yang
dikembangkan saat itu sebagai “Mengarahkan seseorang untuk mengerti sesuatu
melalui apa yang dikerjakannya”. Secara sederhana Ibnu Khaldun menyebutnya
sebagai “Metode belajar dengan hati” atau “Learning by doing” dalam bahasa kita
sekarang.
Kondisi inilah yang mencerahkan paradigma berpikir
orang-orang Eropa. Menurut Montgomery, cukup beralasan jika kita menyatakan
bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri.
Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”nya, Barat bukanlah
apa-apa. Inilah yang sesungguhnya menjadi momentum Eropa memasuki masa
Renaissance. Pada abad sembilan, demikian Montgomery, Universitas Cordoba
menjadi gerbang Eropa memasuki zaman pencerahan. Sayangnya orang-orang Eropa
merasa pencerahan mereka berawal pada abad enam belas dari Florence di Italy.
Yaitu pada saat pemimpin Eropa bersepakat ‘meninggalkan’
agama dalam segala aspek kehidupan dan mengembangkan apa yang disebut
sekularisme. Akibatnya, keagungan peraaban Islam yang dibangun di Spanyol
berakhir dengan tragis. Yaitu pada saat penguasa di sana menghancurkan semua
karya pemikiran para ilmuwan muslim. Tidak hanya karya-karyanya yang
dimusnahkan, para ilmuwannya pun disingkirkan. Ibnu Massarah diasingkan, Ibnu
Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca, kitab-kitab karya Imam Ghazali
dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi perpustakaan umum al Ahkam II
dihanyutkan ke sungai. Ibnu Tufail, Ibnu Rushdy disingkirkan. Nasib yang sama,
juga dialami Ibnu Arabi.
Akhirnya, kebijakan bumi hangus tersebut telah menyebabkan
kesulitan merekonstruksi perjalanan sejarah Islam di Sevila, Cordoba, dan
Andalusia sebagai bukti keagungan peradaban Islam di Spanyol tidak bias dipungkiri,
meski kemudian sirna dihancurkan dalam Perang Salib.
wallahu a’lam bisshawab
Referensi tulisan ini diambil dari beberapa sumber di internet:
–http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-159.html
–http://www.dudung.net/print-artikel/spanyol-mutiara-islam-yang-hilang.html
–http://www.gaulislam.com/jabal-thariq-gerbang-penyebaran-islam-ke-eropa
–http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id=112&Itemid=1
–http://www.indomedia.com/sripo/2003/04/04/0404op1.htm
–http://en.wikipedia.org/wiki/Timeline_of_the_Muslim_presence_in_the_Iberian_peninsula
–http://www.islamuda.com/?id=232&imud=rubrik&kategori=5&menu=baca
– http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Andalus
–http://en.wikipedia.org/wiki/Caliph_of_Córdoba
–http://faisalman.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar