Wowwww, Cara Baru dalam Bercocok Tanam Yang Mudah untuk Dilakukan Dipekarangan yg Sempit
Vertikultur, Solusi Bertani di Lahan Sempit
Dengan cara bertanam berjenjang (verticulture) bukan
halangan petani untuk bercocok tanam.
IR HM. SUHADI dengan tanaman bawang merah yang ditanam
berjenjang (Ikhsan Mahmudi | Surabaya Post) http://jatim.vivanews.com/news/read/162902-vertikultur–solusi-bertani-di-lahan-sempit.
SURABAYA POST – Sempitnya lahan pertanian sering menjadi
alasan petani enggan bercocok tanam. Padahal dengan cara bertanam berjenjang
(verticulture) seperti yang dilakukan Suhadi, pengusaha agrobinis dan petani di
Kota Pasuruan, lahan terbatas bukan halangan bertani.
“Terus terang saya bukan penemu cara bercocok tanam model
vertikultur. Saya hanya ingin memperkenalkan vertikultur dan mengajak
masyarakat di kota untuk gemar bercocok tanam walaupun di lahan sempit di
halaman rumah,” ujar Suhadi ditemui di Tegalbero Camp miliknya di Tegalbero,
Kel. Wirogunan, Kota Pasuruan.
Tegalbero Camp merupakan model pertanian terpadu yang
mewadahi perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan (buntaninak). Melalui
Lembaga Pengembangan Kewirausahaan (LPK), Suhadi menggarap lahan Tegalbero Camp
seluas sekitar 2,5 hektare, yang terletak sekitar 1 km di pinggiran Kota
Pasuruan.
“Saya ingin Tegalbero Camp ini menjadi model pertanian
terpadu yang bisa diikuti warga kota termasuk bagaimana cara bertanam di lahan
sempit dengan vertikultur,” ujar alumnus jurusan agronomi, Fakultas Pertanian
(FP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Suhadi mengakui, sejumlah petani bergidik menyaksikan model
pertanian vertikultur. “Dikira biayanya mahal, padahal sebenarnya murah karena
media tanam bisa dipakai berkali-kali panen,” ujarnya.
Suhadi bersama sejumlah petani mencoba bertanam ala
vertikultur di bawah naungan rumah kaca (green house) sederhana. Green house
berukuran 10 x 10 meter persegi itu ditutup dengan kelambu plastik warna hitam.
Di dalamnya terdapat 300 tonggak dari batang paralon
setinggi masing-masing 2 meter. “Satu lonjor paralon PVC ukuran talang rumah
panjangnya 4 meter dipotong jadi dua bagian,” ujar mantan aktivis mahasiswa
itu.
Sebatang tonggak (paralon) itu kemudian dilubangi menjadi
120 lubang dengan ukuran diameter 10 cm. Dari sini mulai diketahui biaya awal
yakni, sebatan paralon (4 meter) sekitar Rp 35 ribu. “Yang jelas harga satu tonggak
plus biaya melubanginya sekitar Rp 20 ribu,” ujarnya.
Setelah itu patok-patok itu diisi dengan media tanam berupa
campuran abu batu, arang batok kelapa, dan pupuk kandang. Di bagian tengah
tonggak diisi paralon kecil seukuran 0,5 dim yang bersambung ke selang plastik
seukuran selang infus.
“Air bercampur nutrisi atau pupuk kemudian dialirkan dalam
tonggak melalui selang plastik yang biasa digunakan untuk akuarium itu,”
ujarnya.Prinsipnya, pengairan harus rutin dan merata menuju pangkal
tanaman.Menurut Suhadi, kondisi tanah harus berporos, tidak boleh
padat mengeras.Sejumlah jenis tanaman seperti bawang merah, tomat, lombok,
hingga sawi bisa ditanam di lubang-lubang pada tonggak paralon. Sudah beberapa
kali ia menanam tomat, lombok, dan bawang merah. “Saya bisa memanen bawang
merah seberat 4 kilogram dalam satu tonggak,” ujarnya. Dengan harga bawang merah sekitar Rp 15 ribu/kg, berarti
satu tonggak menghasilkan Rp 60 ribu/tonggak. “Dengan biaya paralon Rp 20 ribu
per tonggak ditambah biaya pupuk dan perawatan, pendapatan Rp 60 ribu per
tonggak masih untung lumayan. Padahal saya menanam 300 tonggak,” ujarnya.
Suhadi mengakui, umbi bawang merah yang ditanam di paralon
tidak sebesar kalau ditanam di tanah. Tetapi umbi bawang merah ala vertikultur
itu lebih keras, bahkan saat kering pun tidak susut.
Sejumlah warga mulai tertarik mengikuti jejak Suhadi
bertanam ala vertikultur. “ Ada prajurit Yon Zipur yang datang ke sini kemudian
mencoba bertanam, demikian juga sejumlah warga,” ujarnya.
Memang ada sebagian warga yang datang langsung bergidik
begitu mengetahui peralatan dan media tanam vertikultur. “Pipa paralon kan
murah, bisa dipakai menanam berkali-kali. Untuk pengairan bisa menggunakan
botol plastik air minum yang diletakkan di ketinggian, tanaman diperlakukan
seperti pasien yang diinfus,” ujar Suhadi.
Suhadi pun mengaku banyak mempelajari vertikultur melalui
internet, buku, dan majalah. “Di Jepang karena kesulitan lahan, vertikultur di
atap gedung. Paralon pun bisa diganti kaleng cat tembok yang disusun ke atas,”
ujarnya.
Bahkan ada warga yang nekat mengganti paralon dengan besek
(plastik) untuk wadah berkat kenduri. “Ada juga pabrik rokok yang menggantikan
paralon dengan plastik tipis, tentu saja gampang robek,” ujarnya.
Bertanam ala vertikultur pun memikat banyak pihak, paling
tidak untuk mencoba. “Ada dinas yang meminjam tonggak paralon untuk pameran,
ada Pramuka yang pinjam untuk lomba lalu jadi juara di tingkat propinsi,” ujar
Suhadi. Anda berminat?
Sumber:Petani Hebat
0 komentar:
Posting Komentar