Konspirasi Penyebab runtuhnya Turki Utsmani


Dinasti Turki Utsmani merupakan dinasti Islam terakhir yang pernah Berjaya pada abad pertengahan. Dinasti ini pernah menguasai hampir dua pertiga dunia, yakni meliputi daerah yang terdapat pada tiga benua baik Asia, Afrika, maupun Eropa. Dinasti Turki Usmani memiliki ibukota yang bepindah-pindah mulai dari Iskisyihar, kota Broessa, Andrianopel (Edirne), sampai kota Konstantinopel. Pada masa dinasti ini terjadi penaklukan yang sangat terkenal oleh salah satu sultannya, yakni Muhammad II yang berhasil membuktikan bisyarah rasul dengan menaklukkan Konstantinopel.

Namun meski mencapai kejayaan yang luar biasa, akhirnya dinasti ini runtuh dengan beberapa faktor baik intern maupun ekstern. Yang menarik adalah keruntuhan dinasti ini juga menjadi penghapusan sistem khilafah yang selama ini menjadi sistem yang diterapkan kaum muslim dalam menjalankan pemerintahan. Untuk itu penulis tertarik untuk membahas tentang Dinasti Turki Utsmani ini, terutama masa keruntuhannya, yang masih  menyimpan banyak misteri.

Sejarah Awal Terbentuknya Dinasti Turki Utsmani

Dinasti Turki Usmani didirikan oleh suku pengembara yang berasal dari Asia Tengah,[1] yakni Qayigh Oghus, yang dipimpin oleh Sulaiman. Suku ini terdesak dari daerahnya sendiri akibat serangan dari Mongol. Khawarizm Syah sebagai dinasti yang menguasai daerah yang didiami suku ini memberi saran agar mereka menuju Asia Kecil dan menetap di sana untuk menghindari serangan bangsa Mongol.

Setelah serangan dari bangsa Mongol mereda, Sulaiman beserta rombongan sukunya pindah menuju Syam, namun di tengah perjalanan, yakni ketika menyeberangi Sungai Euphrat tiba-tiba terjadi banjir, dan Sulaiman meninggal di sana. Rombongan ini pun akhirnya terbagi menjadi dua, yakni sebagian kembali ke negeri asalnya, dan sebagian lagi meneruskan perjalanan menuju Asia Kecil. Kelompok kedua yang dipimpin oleh Erthogrol (Arthogrol) bin Sulaiman ini kemudian menghambakan diri kepada Sultan Alaud-Din II dari Dinasti Seljuk Rum yang berpusat di Konya, Asia Kecil.[2]

Sebagai salah satu bentuk pengabdiannya, Erthogrol membantu Dinasti Seljuk Rum menghadapi Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang menyerang dinasti tersebut. Bantuan Erthogrol tersebut sangat berarti, sehingga peperangan tersebut dapat dimenangkan oleh Seljuk Rum. Untuk itu sultan memberikan daerah yang berada di perbatasan dengan Bizantium untuk dijadikan tempat khusus bagi suku yang dipimpin Erthogrol.

Erthogrol dan sukunya mulai memperluas wilayahnya dengan merebut daerah-daerah yang semula dikuasai oleh Bizantium. Setelah Erthogrol meninggal, Usman yang merupakan anak Erthogrol tampil sebagai pemimpin suku yakni tahun 1280 M. Dari namanya inilah kelak nama Dinasti Turki Usmani dinisbahkan. Pada tahun 1300 M, Dinasti Seljuk Rum diserang oleh mongol dan Sultan Alaud-Din II meninggal. Untuk itulah para penguasa Seljuk Rum yang masih hidup membaiat Usman untuk menjadi penguasa, sejak saat itulah Dinasti Turki Usmani berdiri secara merdeka.[3]

Perkembangan Dinasti Turki Utsmani
Wilayah Ottoman

Dinasti Turki Utsmani dikenal dengan dinasti yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas, hal ini karena sebagian besar pemimpinnya lebih fokus pada melakukan ekspansi. Untuk itu Orkhan membentuk pasukan militer yang dikenal dengan sebutan Inkisyariyah (Janissary).

Hampir semua sultan Dinasti Turki Usmani melakukan ekspansi ke daerah di sekitar wilayah kekuasaannya, namun puncak ekspansi terjadi pada masa Muhammad II yang mendapat gelar al-Fatih. Gelar tersebut diperoleh berkat jasanya dalam menaklukkan Konstantinopel yang merupakan ibukota kerajaan Romawi pada tahun 1453 M. Penaklukan ini semakin mempermudah jalan Turki Usmani dalam menaklukkan wilayah-wilayah di sekitar Konstantinopel, seperti Serbia, Albania, dan lain-lain. [4]

Muhammad Al-Fatih
Muhammad Al-Fatih

Dalam struktur pemerintahan, pemimpin Dinasti Turki Usmani ini mempunyai dua gelar sekaligus, yakni sultan (duniawi) dan khlalifah (agama/ukhrawi). Suksesi kepemimpinan terjadi secara turun-temurun, namun tidak harus dari anak pertama yang berhak menggantikan ayahnya, boleh anak kedua dan seterusnya. Bahkan saudara dari sultan terkadang bisa menggantikan jabatan sebagai sultan selanjutnya. Pekerjaan sultan dibantu oleh Syaikhul Islam dan Sadrul-A’dham.[5]

Dalam Dinasti Turki Usmani, terdapat struktur masyarakat yang jelas, yakni perbedaan antara askari dengan re’aya atau antara elit penguasa dengan yang dikuasai atau antara pemerintah dan warga negara. Untuk menjadi elit penguasa dapat diperoleh dari keturunan, pendidikan, dan kemiliteran. Namun seseorang tidak bisa sembarangan menjadi elit penguasa, mereka terlebih dahulu harus dididik dalam kebahasaan dan tata cara khusus.

Dalam bidang ekonomi, Dinasti Turki Usmani tercatat memiliki beberapa kota yang maju dalam bidang industri pada waktu itu, seperti Mesir sebagai pusat produksi kain sutra dan katun. Anatoli selain sebagai pusat produksi bahan tekstil dan kawasan pertanian yang subur, juga menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu.[6]

Meskipun fokus utama Dinasti Turki Usmani adalah ekspansi wilayah, namun dinasti ini tetap memperhatikan peradaban di daerah yang dikuasai. Buktinya masih ada sisa-sisa peninggalan yang dibangun pada masa dinasti ini seperti Masjid Agung Sultan Muhammad al-Fatih, Masjid Abu Ayyub al-Anshari (tempat pelantikan para sultan Usmani), Masjid Bayazid dengan gaya Persia, dan Masjid Sulaiman al-Qanuni. Selain itu didirikan pula Madrasah Usmani di Izmir.[7]

Keruntuhan Dinasti Turki Utsmani
Dinasti Turki Usmani mengalami kemunduran akibat beberapa faktor yang antara lain, penduduk yang memiliki corak yang beragam, lemahnya para sultan pengganti Sultan Sulaiman, kerusakan moral para sultan, ikut campurnya istri sultan dalam mengatur pemerintah, dan juga terjadi kemerosotan di bidang ekonomi.

Sementara keruntuhan Dinasti Turki Usmani dimulai sejak adanya modernisasi yang dilakukan oleh penguasa usmani akibat adanya pengaruh barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu kekalahan dalam peperangan dengan barat juga mendorong usmani berusaha mencari kunci keberhasilan barat. Para penguasa usmani berusaha mengirim utusan-utusan untuk memperlajari modernisasi di barat agar kelak dapat di terapkan di daerah kekuasaan Usmani.

Modernisasi mulai dilakukan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang pendidikan, kemiliteran, dan lain sebagainya. Bahkan ketika masa pemerintahan Sultan Mahmud II, secara tegas terdapat pembedaan antara masalah dunia yang diatur dengan hukum sekuler dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama diatur oleh syariat.

Setelah itu muncul pula Dewan Tanzimat yang berusaha mengadakan reformasi di Turki. Tanzimat sendiri dapat diartikan sebagai pengaruh langsung bangsa Eropa terhadap para pemimpin dan pemikir Turki. Dewan ini diketuai oleh Muhammad Sadik Rifat Pasya. Menurutnya, modernisasi yang membawa kemajuan di barat terwujud karena adanya kedamaian dan hubungan baik antarnegara Eropa, oleh karena itu model pemerintahan absolut yang dianut Turki sebaiknya dihilangkan. Pengaruh barat ini menimbulkan kelemahan bagi Dinasti Turki Usmani. Kelemahan Usmani ini dimanfaatkan oleh Eropa untuk mendesak persamaan hak antara orang Eropa yang beragama Kristen dengan warga Turki yang beragama Islam. Akhirnya sultan abdul majid menetapkan sebuah piagam yang memenuhi tuntutan tersebut yakni Hatt-i Humayun.

Semakin lama Eropa menuntut perlakuan yang sama dengan kaum muslim dalam berbagai bidang, mulai dari pajak, pendidikan, pendirian fasilitas umum untuk mereka, dan lain sebagainya. Namun ternyata kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sultan mendapat kritikan dari ulama pada masanya, hal ini karena barat dijadikan tolak ukur modernisasi sehingga sekulerisasi terjadi di berbagai bidang.



Selain itu muncul pula gerakan lain yang sebenarnya menentang para tokoh Tanzimat, mereka adalah Usmani Muda, yang salah satu tokohnya adalah Ziya Pasya. Tujuan mereka ialah untuk menghentikan pemikiran bebas tokoh-tokoh Tanzimat. Mereka menganggap Tanzimat terlalu memaksakan sistem barat yang belum tentu sesuai dengan Islam. Usmani Muda menganggap pemikiran barat memang perlu dipakai, tapi harus disesuaikan dengan ajaran Islam terlebih dahulu. Mereka berpendapat bahwa jika Dinasti Turki Usmani ingin maju, maka harus menggunakan sistem konstitusi dalam pemerintahannya. Usmani Muda juga mengusulkan adanya sebuah konstitusi sebagai landasan dalam pemerintahan.

Akhirnya konstitusi 1876 disetujui oleh Sultan Abdul Hamid II, sebagai konstitusi resmi. Konstitusi ini memperlihatkan sifat semi-otokratis dan belum demokratis. Dengan adanya konstitusi ini ternyata menjadikan sultan lebih absolut dalam memerintah karena sultan diberi beberapa hak khusus yang ditetapkan oleh konstitusi tersebut. Hal ini menandakan kegagalan tujuan Usmani Muda, bahkan karena dianggap tidak sesuai dengan keinginan gerakan ini, Usmani Muda mencoba menggulingkan sultan, namun sayang gagal. [8]

Akhirnya Usmani Muda dihancurkan oleh sultan karena dianggap membahayakan. Setelah itu kelompok yang tidak suka terhadap keabsolutan sultan mulai bermunculan yang salah satunya adalah gerakan Turki Muda. Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Ahmad Riza dengan pendapatnya bahwa Turki Usmani dapat diselamatkan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bukan dengan teologi dan metafisika. Gerakan Turki Muda ini memiliki beberapa perkumpulan yang pada perkembangannya melakukan pemberontakan kepada sultan.

Untuk menjaga eksistensinya, sultan memenuhi salah satu tuntutan mereka yakni memberlakukan kembali konstitusi dan melaksanakan pemilihan umum, dan meninggalkan sistem keabsolutan sultan. Sejak saat itulah Turki Muda mulai ikut campur dalam kekuasaan Kerajaan Usmani. Daerah-daerah Dinasti Turki Usmani yang ada di Eropa memanfaatkan situasi ini dengan melepaskan diri dari pusat dan memerdekakan diri. [9]

Dinasti Turki Usmani dianggap sebagai batu penghalang bagi imprealisme Barat dan gerakan Zionisme yang berusaha mendirikan Juden Staat (negara Yahudi) di tanah Palestina yang ketika itu menjadi wilayah kekuasaan Turki. Karena itu, Zionisme menggagas der Juden Staat, Inggris mendukung penuh, sebagaimana kemudian terlihat dalam Perjanjian Balfour. Sehingga pada 15 Mei 1948 sebuah negara ilegal kaum Yahudi berdiri di tanah kaum muslimin Palestina. Sebelumnya, pada tahun 1924, Dinasti Turki Usmani berhasil ditumbangkan dengan menyusupkan kader-kader Freemason dalam menggerakan Revolusi Turki Muda (Young Turk Movement) pada 1908 M.

Konspirasi untuk meruntuhkan kekuasaan Islam di Turki dilakukan secara gencar. Di antaranya menyusupkan sebanyak 50.000 Yahudi Dunamah dari Salonika, sebuah wilayah yang sekarang menjadi bagian Yunani Timur, ke dalam Gerakan Persatuan dan Pembangunan yang bertujuan merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II.

Pada waktu itu, Sultan Abdul Hamid dikenal gigih menolak lobi-lobi aktifis Zionis agar menyerahkan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi. Selain itu, para aktivis Freemason juga mengampanyekan Turki dengan sebutan “The Sick Man in Europe” (Lelaki yang Sakit dari Eropa) sebagai upaya memojokkan pemerintahan Islam di Turki.[10]

Mustafa Kemal
Mustafa Kemal

Salah satu tokoh Freemason ini adalah Mustafa Kemal, dialah yang kemudian menjadi presiden pertama Turki dan akhirnya menghapus jabatan khalifah. Alasan ia menghapus jabatan khalifah adalah karena jabatan tersbut dianggap milik semua kaum muslim, sehingga tidak pada tempatnya jika hanya dibebankan pada Turki. Tepat pada tanggal 03 Maret 1924, jabatan khalifah resmi ditiadakan sementara khalifah terakhir Turki Usmani, Abdul Majid II dipersilahkan meninggalkan Turki. Maka berakhirlah kekuasaan Turki Usmani yang telah berdiri kurang lebih 6 abad.

Artikel Kreatifitas dan Hidup Sehat Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2015 Kreatifitas dan Hidup Sehat | Design by Bamz